===============================================================

Bekakak, Mengenang Leluhur Masyarakat Gamping

Upacara Bekakak adalah ritual khusus masyarakat Gamping yang dilakukan setahun sekali. Upacara ini sering disebut dengan Saparan karena waktu pelaksanaannya jatuh tiap Bulan Safar, bulan Arab kedua, antara tanggal 10-20.
Ritual Bekakak dilakukan untuk mengenang dan menghormati arwah Kiai dan Nyai Wirosuto sekeluarga, sebagai abdi dalem perangsang (hamba yang memayungi) Sri Sultan Hamengku Buwono I, yang diyakini sebagai cikal bakal penduduk Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Dahulu, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Keraton Ambarketawang, kedua suami istri tersebut tidak ikut. Bersama keluarganya ia tetap bertempat tinggal di Gamping. Sejak saat itulah dia dianggap sebagai cikal bakal atau leluhur masyarakat Gamping.
Bekakak sendiri berarti kurban penyembelihan hewan atau manusia. Namun, berbeda dengan Idul Adha yang menjadikan domba sebagai hewan kurban, dalam Bekakak, yang menjadi kurban adalah sepasang pengantin tiruan yang dibuat dari beras ketan dan dihias sedemikian rupa. Pengantin perempuan dirias bergaya pengantin Solo, dan laki-laki bergaya Yogyakarta.
Terdapat beberapa tahapan dalam prosesi acara Bekakak. Pertama adalah tahap midodareni, yaitu tahap tirakatan yang dilaksanakan malam hari untuk meminta restu kepada bidadari yang diyakini akan turun. Meski pengantin Bekakak hanyalah tiruan, tapi tetap dilakukan seperti layaknya pengantin sungguhan.
Tahapan itu berlangsung pada malam Jumat, dimulai sekitar pukul 20.00 WIB. Dua buah jali berisi pengantin Bekakak dan sebuah jodhang (bejana) berisi sesaji disertai sepasang suami istri gendruwo dan wewe adalah benda-benda yang diarak untuk kemudian diberangkatkan ke Balai Desa Ambarketawang, lokasi tempat Bekakak Gamping dilakukan. Kemudian dilakukan aneka kegiatan, seperti tirakatan, tahlilan, atau pentas seni seperti wayang kulit dan uyon-uyon.

Pada keesokan harinya dilanjutkan kirab pengantin Bekakak. Tahapan kedua ini berupa arak-arakan pengantin menuju suatu tempat penyembelihan di Gunung Kliling. Sebagian besar penduduk Gamping ikut mengarak dengan membawa sesaji sambil memakai busana adat.
Prosesi selanjutnya adalah penyembelihan pengantin Bekakak. Dua pengantin yang terbuat dari beras ketan yang diarak tadi disembelih, atau lebih tepatnya dipotong-potong, dan kemudian dibagi-bagikan kepada para pengunjung.

Bersama itu pula dibagikan sesajian dan makanan. Acara dilakukan dua kali, yang pertama di Gua Gung Ambarketawang dan yang kedua di Gunung Kliling, yang berjarak sekitar 2 km.
Yang memimpin upacara itu adalah sesepuh desa setempat, dengan diawali doa bersama memohon keselamatan bagi arwah leluhur, dan bagi masyarakat Gamping sendiri.

Upacara terakhir dari seluruh rangkaian acara Bekakak adalah Sugengan Ageng. Acara itu dilaksanakan di Pesangrahan Ambarketawang, Gamping, oleh seorang ulama sebagai pemimpinnya.
Prosesinya pertama-tama pembakaran kemenyan, dilanjutkan pembukaan dengan mengikrarkan adanya Sugengan Ageng tersebut, lalu pembacaan doa dalam bahasa Arab. Setelah usai, dilepaskanlah sepasang burung merpati putih dan dilanjutkan pembagian sesaji Sugengan Ageng yang berada dalam rahmat Allah kepada semua yang hadir, terutama makanan tawonan kegemaran Sultan Hamengku Buwono I.
Dengan selesainya pembagian sesaji tersebut, selesailah rangkaian acara Bekakak. Secara seremonial, acara Bekakak tergolong rumit dan penuh tahapan serta penuh dengan simbol, seperti aneka ragam makanan sampai pakaian. Secara esensi Bekakak merupakan hajat penyucian jiwa, memohon keselamatan, juga sebentuk upaya untuk mengenang roh leluhur yang telah berjasa bagi masyarakat Gamping.

tokhe on the net

Your Ad Here

Mesin Pencari Pekerjaan