===============================================================

Kirab Bekakak; Kekayaan Budaya dari Gamping

Yogyakarta memang menyimpan beragam khasanah kebudayaan, yang mungkin masih jarang diketahui oleh para penduduk luar Jogja. Pun penduduk Jogja masih banyak yang awam tentang keanekaragaman budaya yang ada karena sebagian dari mereka adalah para pendatang. Salah satu kekayaan budaya yang gaungnya masih kalah menggema dibandingkan grebeg mulud adalah upacara Saparan atau dikenal pula dengan Kirab Bekakak.
Kirab bekakak yang diadakan setiap tahun di Gamping, Sleman ini sejatinya masuk dalam kalender pariwisata pemerintah Kabupaten Sleman dan pemerintah Provinsi DIY. Namun entah karena lokasi pelaksanaannya yang jauh dari pusat kota, atau lantaran faktor yang lain, acara yang satu ini memang jauh kemeriahannya dibandingkan grebeg mulud atau sekatenan. Acara ini sendiri diadakan tiap hari Jum’at, minggu ke tiga bulan Sapar (nama bulan dalam penanggalan Islam). Kenyataannya, kirab bekakak ini tidak kalah menarik untuk dinikmati dan diikuti.
Dalam setiap penyelenggaraannya, rute Kirab diawali dari Balai Desa Ambarketawang, berjalan menuju Pesanggrahan Ambarketawang yang terletak di Gunung Gamping. Dalam Kirab tersebut diaraklah dua pasang boneka penganten, disebut pula bekakak, yang dibuat dari tepung beras ketan yang diisi juruh atau gula merah yang dicairkan. Selain arakan bekakak, Kirab juga diikuti oleh brigade prajurit serta rombongan berbagai macam kesenian tradisional. Sesampainya di Pesanggarahan, penganten atau bekakak tersebut disembelih hingga keluar juruh-nya dan kemudian disebarkan ke arah pengunjung.
Para pengunjung selalu dengan rela menunggu sambil berdesak-desakan untuk mendapatkan bagian dari bekakak tersebut. Mereka percaya, walaupun sedikit, tubuh bekakak yang terbuat dari ketan itu bisa mendatangkan berkah bagi mereka yang berhasil mendapatkannya. Tradisi seperti ini memang masih melekat pada sebagian masyarakat Jawa pada umumnya dan Jogja pada khususnya. Orang menyebutnya ngalap berkah.
Adapun cerita di balik penyelenggaraan kirab bekakak ini dipercaya berawal dari meninggalnya Ki Wirosuto bersama keluarganya akibat runtuhnya Gunung Gamping. Ki Wirosuto sendiri adalah abdi Raja Mataram Sultan Hamengkubuwono I. Upacara Saparan ini merupakan perintah dari Sultan kepada Demang Gamping untuk mengadakan selamatan dengan membuat sepasang boneka yang terbuat dari tepung beras ketan berisikan gula merah cair. Boneka tersebut harus disembelih sebagai simbolisasi pengorbanan Ki Wirosuto.
Adapula cerita lain yang menyebutkan bahwa tradisi ini ditujukan pula untuk keselamatan bagi penduduk setempat yang pada umumnya berprofesi sebagai pengambil kapur gamping. Konon dahulu banyak orang yang tergelincir dan meninggal saat mengambil batu gamping. Dan anehnya kecelakaan yang merenggut nyawa itu selalu terjadi pada bulan Sapar. Oleh karena itu dengan diadakannya tardisi Saparan, warga setempat percaya bahwa tradisi ini sanggup memberikan kedamaian serta ketentraman bagi mereka. Dengan menjaga dan melestarikan tradisi ini, segala kesialan dan mara bahaya dipercaya bisa menjauh dari masyarakat setempat.

tokhe on the net

Your Ad Here

Mesin Pencari Pekerjaan